jump to navigation

Notulensi Seminar Kebangkitan Nasional ILUNI FTUI, 11 Juni 2008 May 14, 2008

Posted by Panitia Musyawarah III ILUNI FTUI 2008 in Kegiatan Pokja ILUNI FTUI.
1 comment so far

NOTULENSI
SEMINAR 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL

“MENCARI SOLUSI ATAS PERMASALAHAN INDUSTRI MIGAS BAGI KETAHANAN ENERGI DAN KEMANDIRIAN EKONOMI NASIONAL”
BALADEWA ROOM, HOTEL BUMI KARSA JAKARTA
RABU, 11 JUNI 2008

Pembukaan

Dalam pembukaan acara seminar migas ini, Ketua ILUNI FTUI – Ibu Milatia menyatakan bahwa isu migas saat ini adalah salah satu isu sensitif yang memicu pro dan kontra di tengah masyarakat. Namun, di tengah krisis energi dan konflik yang terjadi, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk meredamnya, yaitu program BLT (Bantuan Langsung Tunai) dinilai tidak mendidik. Dalam kesempatan yang sama, beliau juga mengemukakan salah satu solusi untuk menghadapi permasalah migas kita, yakni dengan melakukan gerakan energy saving – penghematan energi.

Sesi I
(Moderator: Satrio Pratomo – Sekum ILUNI FTUI)

1. Agus Cahyono Adi (perwakilan BP Migas- Kasubdit penerimaan Migas)
Sebagai perwakilan BP MIGAS, Bapak Agus memaparkan beberapa kebijakan yang ditempuh BP MIGAS dalam mendukung ketahanan bahan bakar. Selain 10 kebijakan tersebut, Beliau juga mewacanakan sebuah upaya untuk mengubah paradigma dalam perekonomian dunia yaitu suatu pola pikir baru yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Terkait dengan profesionalisme BP MIGAS, menurutnya, hal tersebut haruslah diartikan sebagai usaha untuk menempatkan sesuatu sesuai dengan porsinya.

2.  Abdul Muin (Wakil Kepala BP MIGAS)
Selaku pembicara kedua, Bapak Abdul Muin menyampaikan kondisi terkini bangsa Indonesia yang tengah berada di persimpangan jalan. Saat ini, kita sudah memasuki apa yang disebut sebagai maturity, suatu kondisi yang ditandai dengan makin menipisnya ketersediaan sumber daya energi, khususnya minyak dan gas alam. Beliau juga mengemukakan peranan migas yang bukan hanya menjadi salah satu penghasil devisa negara, tetapi juga menjadi roda penggerak pertumbuhan perekonomian yang terjadi di Indonesia.

Pada saat yang sama, Wakil Kepala BP Migas ini juga menyampaikan klarifikasinya atas satu isu, yaitu apakah beban keuangan negara atas pelaksanaan industri (migas) terasa berat? Dalam penjelasannya, beliau mengemukakan kondisi pasar internasional dewasa ini. Dalam teorinya harga minyak yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi maka akan berdampak negatif atas perekonomian dunia Saat ini, secara global posisi spending dalam eksplorasi rendah. Selain itu, para pemilik modal juga mulai melakukan pengamanan keuangan mereka melalui investasi dalam eksplorasi minyak (black gold). Maka dua hal yang coba ditawarkan sebagai solusi atas permasalahan ini. Pertama, dari segi resources, memaksimalkan fungsi manajemen agar setiap tahapan dapat berjalan teratur. Sedangkan dari sisi cost revenue adalah melalui pengelolaan income yang diperoleh dan menghindarkan sikap konsumtif.  

3. Heroe Widjatmiko (Sekjen Asosiasi Pengusaha Migas Indonesia)
Dalam kesempatan ini, pembicara ketiga dalam sesi pertama memulai pembahasan dengan sebuah pemaparan mengenai sejarah bangsa Indonesia sejak pra kemerdekaan hingga saat ini, sebagai rangkaian dari peringatan 100 tahun kebangkitan nasional. Pada bagian kesimpulan dari pemaparannya tersebut, Bapak Heroe menyatakan bahwa kita (bangsa Indonesia) meiliki berbagai potensi yang luar biasa dan permasalahan utamanya adalah ketidakfokusan dalam pengelolaanya. Hal inilah yang sudah sepatutnya menjadi perhatian dan prioritas saat ini.

4. Dr. Kurtubi (Direktur Center of Petroleum and Energy Economics Studies/CPEES)
Selaku pembicara terakhir di sesi pertama, pengamat migas ini mengemukakan hal yang dianggap sebagai penyebab utama menurunnya investasi di bidang migas yang memicu krisis energi adalah ketidakpastian hukum di Indonesia. Terlebih lagi pasca langkah pemerintah yang mengganti UU Migas di tahun 1999 serta menerbitkan UU yang justru tidak mendukung terciptanya iklim yang kondusif bagi penanaman modal di negara ini. Memang pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan baru seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.177 tahun 2007. Namun secara urutan tata peraturan perundangan yang ada di Indonesia, dimana kedudukan UU lebih tinggi dibandingkan dengan PMK, maka ketentuan tersebut lemah posisinya. Maka sebagai solusi atas problematika ini, beliau mengajukan dua opsi yakni mengubah UU Migas yang ada atau menerbitkan Perpu Migas. Selain itu, beliau juga mengusulkan agar BP Migas diubah statusnya dari BHMN menjadi BUMN agar dapat mengelola hasil migas yang menjadi haknya dengan lebih baik.

Di sesi tanya-jawab, tiga orang penanya mengemukakan pertayaan dan pernyataannya mengenai tiga hal. Penanya pertama menyampaikan pernyataan seputar kerapuhan energi di Indonesia akibat pengelolaan yang tidak menjunjung tinggi kemaslahatan bangsa sebagaimana yang telah diatur di dalam UUD 1945 pasal 33, contohnya adalah pengeksporan minyak bumi berkualitas baik ke luar negeri sedangkan yang berkualitas buruk dikonsumsi di dalam negeri. Kedua adalah pertanyaan seputar kebijakan dirjen migas dalam pemanfaatan renewable energy seperti geothermal dan nuklir serta kenyataan aneh mengenai IMF yang justru mendesak pemerintah RI untuk membuat peraturan migas yang banyak memberikan hambatan bagi investor. Penanya ketiga mengemukakan pendapatnya bahwa untuk mengatasi krisis energi maka perlu dipikirkan suatu konsep demand management dalam rangka penghematan energi, bukan memikirkan masalah produksi semata.

Sesi II
(Moderator : Ir. Tomy Suyatama – Ketua ILUNI TGP UI)

1. Suprapto (Departemen Keuangan)
Dalam kesempatannya ini, pembicara pertama menyampaikan penjelasannya mengenai kebijakan Departemen Keuangan yang menerbitkan UU No. 22 tahun 2001, yang juga mendorong lahirnya beberapa Peraturan Menteri Keuangan, yang memiliki tiga tujuan dasar. Hal pertama yang menjadi alasan adalah untuk memperbaiki iklim investasi di sektor migas nasional. Kedua, meningkatkan produksi minyak dan gas. Dan ketiga, secara undang-undang, dimungkinkan pemberian fasilitas fiskal.

2. Faisal Basri (Ekonom)
Di bagian ini, pembicara kedua menyampaikan pandangannya mengenai kesalahpahaman serta pembodohan masyarakat mengenai subsidi BBM yang beliau beri tajuk ”Terbelenggu Mitos BBM”. Menurutnya, orde baru telah melakukan pembodohan sistemik yang membuat masyarakat sangat tergantung pada subsidi pemerintah, sekalipun mereka secara ekonomi mapan. Akibatnya, selama puluhan tahun, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang boros akan bahan bakar. Seolah mereka lupa bahwa anak dan cucu mereka juga berhak menikmati sumber daya alam Indonesia di masa yang akan datang. Bahkan ada satu fenomena yang bertentangan dengan hukum ekonomi yang ada, ketika harga BBM naik, justru permintaan dari konsumen meningkat. Defisit anggaran pemerintah untuk BBM juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bila kondisi ini terus dibiarkan, maka menurut Faisal Basri, di masa yang tidak lama lagi, defisit bisa mencapai 15 milyar Dollar AS. Suatu jumlah yang sangat banyak dan terbuang sia-sia di dalam kemacetan parah yang menjadi biang pemborosan energi.

3. Bambang Purwohadi (Ketua Asosiasi Pengeboran Migas Indonesia)
Di sesi ini, Bambang Purwohadi yang telah berpengalaman selama puluhan tahun di bidang pengeboran mengemukakan proses panjang terciptanya minyak bumi dan gas alam hingga eksplorasi dan pengeboran minyak yang memakan waktu dan biaya yang sangat besar. Tujuan pemaparan ini adalah untuk memberikan sebuah kesadaran bahwa eksplorasi migas bukanlah hal yang mudah dan murah. Maka apabila harga yang dipatok oleh pemerintah terlampau rendah, tidaklah mengherankan bila terjadi berbagai penyalahgunaan. Selain itu, beliau juga menyampaikan kesulitan-kesulitan birokratis di dalam menggaet investasi di bidang migas yang menjadi penyebab makin sedikitnya eksplorasi migas di Indonesia.

4. Dr. Ryad Chairil (ILUNI FTUI)
Dalam pemaparannya yang berjudul “Mengubah Kutukan Menjadi Rahmat”, Ryad Chairil menyampaikan tentang pentingnya peranan pemerintah untuk meningkatkan kemampuan para pengusaha lokal agar dapat memegang peranan penting alam mengelola sektor wind fall profit di bidang migas. Karena berdasarkan hasil analisis, sektor jasa atau cost revenue inilah yang menjadi bagian yang paling penting peranannya dalam proses eksplorasi migas. Untuk mendukung realisasi pemikiran tersebut, ada beberapa hal utama yang seharusnya dilakukan. Pertama, Membuat konsensus terbuka akan berapa pendapatan dan biaya yang harus dikeluarkan secara transpara. Kedua, Pengelolaan pendapatan yang transparan. Ketiga, Pengawasan dan penegakan hukum pada kelembagaan termasuk BUMN. Keempat, Membangun sistem pengelolaan SDA yang dapat diterima di semua level Pemerintahan baik Pusat dan Daerah. Kelima, Mendapat dukungan parlemen, media dan civil society. Dan keenam, Penduduk sekitar mendapatkan bagian konkrit dari pengusahaan SDA.

5. Tris Budiono (Persatuan Insinyur Indonesia)
Sebagai pembicara pamungkas dalam seminar ini, Tris Budiono menyampaikan pemikirannnya yang diberi judul ”Industri Migas bagi Kemandirian Bangsa”. Dalam pemaparannya, beliau melihat suatu kondisi paradoks di tengah masyarakat Indonesia yang memiliki sumber daya migas luar biasa tetapi dalam kenyataannya justru industri migas menjadi beban bagi negara. Maka untuk menyelesaikan segala kendala yang tengah dihadapi, solusinya adalah sebagai berikut:
–  Cermati, hayati, serta amalkan UUD ‘45 & Pancasila
–  Revitalisasi mindset & paradigma
–  Pertegas benang merah industri migas terhadap kemakmuran rakyat berkelanjutan dan bersendikan keswadayaan masyarakat
–  Transparansi & Data Base (mapping) on line
–  Konsisten dan konsekuen dalam pengejawantahan potong birokrasi & minimalisasi cost recovery
–  Beri kesempatan dan kepercayaan pada tenaga ahli nasional/lokal dan industri nasional
–  CD & CSR  ditujukan untuk membangun keswadayaan masyarakat
–  Pembinaan dan pengembangan kompetensi serta sense of MIGAS/Energy sedini mungkin melalui pendidikan.

Seperti halnya di sesi pertama, maka di sesi kedua inipun disediakan waktu untuk tanya-jawab dengan audiens. Dalam termin pertama di sesi ini, dua orang mengajukan pertanyaan dan satu orang memberikan pernyataannya. Pertanyaan pertama lebih menyoroti posisi Indonesia dalam upaya menuju kemandirian melalui migas sebagaimana yang dipaparkan oleh pembicara terakhir, Bapak Tris Budiono M., IPM. Selanjutnya penanya kedua memberikan pernyataannya terhadap materi yang disampaikan oleh Bapak Faisal Basri, agar lebih melihat permasalahan migas secara komprehensif, bukan sektoral. Penanya ketiga mempertanyakan upaya pemerintah dan masyarakat untuk mengantisipasi kenaikan harga crude oil.

Dalam termin kedua, ada dua orang penanya. Pertanyaan pertama yang diajukan meminta pendapat dan pandangan para pembicara menngenai bagaimana mengubah moral para pengambil keputusan dan apakah memungkinkan bagi kita untuk mengubah sistem kontrak yang ada. Dan pertanyaan terakhir di sesi ini adalah berapa besar target eksplorasi yang ingin dicapai guna mengatasi krisis energi di Indonesia. 

RINGKASAN MATERI PEMBICARA

Dr Ryad Chairil
Mengubah Kutukan Menjadi Rahmat
 Ekonomi rakyat mengalami penderitaan – tidak ada pilihan diversifikasi yang dapat diimplementasikan untuk mengantisipasi krisis energi atau ketidakpastian harga komoditi
 Tidak Kesetaraan Dalam Pendapatan –
 Enclave pada sektor migas – pada “forward or backward linkages”, dan “global sourcing”
 Distribusi pendapatan terensentrasi pada ibu kota dan kota-kota besar, dibandingkan daerah penambangan
 Tingginya Ekspektasi Publik – harapan akan besarnya pendapatan meminta Pemerintah untuk melakukan subsidi pada produk migas, dan melupakan keharusan untuk membuat perencaan pembangunan yang baik serta tidak berdisplin dalam fiskal aspek
 Tidak optimalnya fungsi fiskal – ketika sumberdaya habis atau harga komoditi turun, maka pemerintah pusat maupun daerah terjebak pada tingginya pembiayaan.
 Tidak Mampu Memanfaatkan Kesempatan – hilangnya moment memanfaatkan “windfalls” profits karena lemahnya kapasitas pemerintahan
 Ekonomi Politik – adanya “windfalls profit” justru menghasilkan rente2 ekonomi, KKN, penyalahgunaan kekuasaan oleh elit dll.
 Beberapa negara terlihat sedang membuat kebijakan untuk mengelolal “windfall profits”: Timor Leste, Kazakhstan, Angola, Sudan, Azerbaijan
 Sebagian negara “pengekspor migas” mengkaji ulang tatanan fundamental industri migasnya (seperti Nigeria dll)
 Peraturan perundangan – UU Investasi, Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), UU Pajak dll
 Kemampuan kelembagaan/Institusi – sumberdaya manusia, infrastruktur, transparansi, anti korupsi dll
 Kebijakan dan Perencanaan Ekonomi Terpadu– agar dapat mengelola naik turunya harga komodit, optimalisasi petumbuhan vs penurunan tingkat kemiskinan, divesifikasi dll

Dr Kurtubi
Perlunya Menyempurnakan   Management Sumber Daya Migas Nasional
 Produksi minyak mentah relatif sangat rendah, ditengah situasi harga minyak dunia yang sangat mahal dan terus naik
 Produksi/lifting mengalami menurunan drastis dari 1.5 juta barrel/hari pada tahun 2000 menjadi hanya sekitar 927,00 barrel/hari tahun 2008.
 Kapasitas kilang stagnant pada level 1.050.000 bbl/hari, padahal kapasitas kilang yang dibutuhkan agar kebutuhan BBM terpenuhi seluruhnya pada tahun 2008: 1.400.000 bbl/hari.
        
AKIBATNYA:
 Import dependency Indonesia terus meningkat. Ketahanan energi nasional saat ini sangatlah rawan !. Karena sekitar  40% dari kebutuhan minyak mentah yang diolah dikilang dalam negeri harus diimport. Ditambah sekitar 30% – 40% dari kebutuhan BBM Indonesia juga tergantung dari impor.

 Migas bagian Negara tidak bisa dikembangkan dan dijual oleh BP Migas karena BP Migas bukan entitas bisnis. Ekspor/penjualan migas bagian negara yang berasal dari KPS harus dijual lewat/menunjuk Pihak Ketiga (Pasal 44 ayat 3 g UU Migas No.22/2001).

 Contoh potensi kerugian negara: Pengembangan dan Penjualan LNG Tangguh diserahkan kepada Pihak Ketiga yang berpeluang menimbulkan conflict of interest (Padahal yang berpengalaman mengembangkan dan menjual LNG dengan formula harga yang sangat bagus adalah BUMN Migas), ternyata diperoleh harga jual LNG Tangguh yang sangat merugikan negara, yakni US$3.35/mmbtu karena dipatok pada harga minyak sebesar US$38/bbls untuk masa 25 tahun. Padahal saat ini LNG Badak dijual dengan harga sekitar US$17/mmbtu. Harga minyak dalam 25 tahun kedepan PASTI akan jauh diatas US$38/bbls. Pada tahun 2019 harga diperkirakan mencapai US$450/bbls. Di sini potensi kerugian negara puluhan menjadi senilai milyaran US$ (ratusan trilyun rupiah)!

 Asset perminyakan milik negara yang dibeli dari dana KPS, pengelolaannya tidak jelas dan merugikan negara, karena BP Migas tidak bisa memanfaatkan dan mengelola asset2 tsb. Contoh pengelolaan asset LNG Badak yang tidak jelas. Saat ini PT Badak tidak lagi menjadi asset Pertamina, dan tidak juga menjadi asset BP Migas ! Lalu asset LNG Badak kedepan menjadi milik siapa ? Dst.

Resume Seminar: “Memaksimalkan Pemanfaatan Batu Bara untuk Rakyat” May 1, 2008

Posted by Panitia Musyawarah III ILUNI FTUI 2008 in Kegiatan Pokja ILUNI FTUI.
add a comment

Seminar “Memaksimalkan Pemanfaatan Batu Bara untuk Rakyat” telah diselenggarakan oleh Anggota DPD RI Marwan Batubara bekerja sama dengan Ikatan Alumni Fakultas Teknik Universitas Indonesia (ILUNI FTUI) pada tanggal 29 April 2008 di Ruang GBHN, Gedung Nusantara V, Komplek DPR/MPR RI.

Hadir sebagai pembicara pada seminar tersebut Abimanyu Suyoso (Kepala Manajemen Consulting Group PT PLN) yang mewakili Bapak Murtaqi Syamsudin (Direktur PLN/ Jawa-Madura-Bali), Alvin Lie (anggota Komisi VII DPR RI), Marwan Batubara (Ketua Tim Upaya Pemberantasan Korupsi DPD RI), Jeffry Mulyono (Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia), dan Ryad Areshman Chairil (Sekjen Badan Kerjasama Pemerintah Daerah Penghasil Batu Bara Seluruh Indonesia). Bapak Darmin Nasution (Dirjen Pajak) berhalangan hadir karena mendadak ada rapim di Depkeu, sedang Dr. Brian Yuliarto (Indonesia Energy Institute) tidak bisa hadir karena sakit. Kata sambutan diberikan oleh Ketua Umum ILUNI FTUI Milatia Kusuma Moe’min.

Penyelenggaraan seminar dilatar-belakangi oleh keprihatinan ILUNI FTUI atas tidak maksimalnya kontribusi industri batu bara di Indonesia terhadap penerimaan negara. Selain itu, terdapat pula permasalahan berupa minimnya ketersediaan pasokan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri. Karena itu, perlu untuk mempertanyakan kebijakan dalam manajemen pengelolaan batu bara di Indonesia selama ini.

Berdasarkan diskusi yang berlangsung, berbagai persoalan itu muncul terutama karena lemahnya peran Pemerintah dalam mengendalikan usaha tambang batu bara, struktur regulasi yang tidak memadai, serta terjadinya banyak penyimpangan dan praktik KKN dalam pengelolaan industri ini.

Perlu dicatat, Indonesia memiliki potensi kekayaan batu bara yang sangat besar (terbesar di Asia), yaitu total sejumlah hampir 70 miliar ton dengan potensi yang dapat ditambang sebesar hampir 7 miliar ton. Dari potensi sejumlah itu, Indonesia memproduksi sekitar 200 juta ton setiap tahunnya. Seiring dengan naiknya harga batu bara di pasar dunia, produksi batu bara Indonesia terus meningkat setiap tahun, yaitu dari 193 juta ton pada 2006, menjadi 205 juta ton pada tahun 2007, dan diproyeksikan akan kembali meningkat pada tahun 2008 menjadi 235 juta ton.

Ironisnya, produksi batu bara Indonesia yang melimpah tersebut, sebagian besarnya (yaitu sekitar 75%) justru diekspor ke luar negeri. Pada 2006, jumlah ekspor misalnya tercatat 148 juta ton, lalu meningkat lagi menjadi 170 juta ton pada 2007, dan menjadi 185 juta ton pada 2008. Angka ini berlipat kali lebih besar dibandingkan dengan alokasi batu bara untuk kebutuhan dalam negeri yang rata-rata hanya sekitar 45-50 juta ton.

Padahal, kebutuhan batu bara untuk pasar dalam negeri merupakan hal yang sangat mendesak untuk menunjang keberlangsungan industri nasional. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Jeffry Mulyono, batu bara setidaknya menyumbang 17% dari total supply energy mix nasional. Kebutuhan batu bara terutama dirasakan oleh sektor ketenagalistrikan, yang 46% pembangkitnya mengandalkan bahan bakar batu bara. Ketergantungan pada batu bara juga dialami sejumlah industri seperti semen, tekstil, metalurgi, dan pulp paper (bubur kertas). Oleh karena itu, batu bara menempati posisi sangat vital dan merupakan salah satu sumber energi primer bagi dunia industri di Indonesia.

Hal ini turut dibenarkan oleh Kepala Manajemen Consulting Group PT PLN Abimanyu Suyoso. Menurut Abimanyu, untuk PLN saja, akan dibutuhkan pasokan batu bara sekitar 83 juta ton per tahun dalam rangka melaksanakan proyek crash program 10.000 MW. Seperti terlihat, jumlah ini sudah hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan alokasi batu bara yang tersedia di pasar domestik. Karena itu, jika tidak dilakukan langkah-langkah antisipatif, krisis pasokan batu bara akan menjadi persoalan serius di kemudian hari.

Permasalahan ketimpangan pasokan batu bara ini sendiri terjadi akibat lemahnya kebijakan pemerintah dalam melindungi kepentingan industri dalam negeri. Industri batu bara dibiarkan berjalan mengikuti mekanisme pasar yang melepaskan komoditas kepada penawar tertinggi. Harga jual batu bara yang sedang meroket di pasar internasional, yaitu mencapai US$ 92 – US$ 94 per ton, tak pelak menyebabkan dikurasnya pasokan batu bara untuk memenuhi permintaan pasar dunia. Industri dalam negeri pun tak mampu bersaing penawaran dengan para pelaku pasar tersebut.

Karena itu, pemerintah dituntut untuk memberlakukan regulasi mengenai Domestic Market Obligation (DMO). Berdasarkan DMO, perusahaan batu bara diwajibkan untuk memberi alokasi minimal pasokan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri. Melalui hal ini, kepentingan industri dalam negeri diharapkan dapat lebih terlindungi. Agar dapat berfungsi efektif, diusulkan pula agar ketentuan mengenai DMO tersebut dituangkan dalam bentuk PP.

Sementara itu, Sekjen Badan Kerjasama Pemerintah Daerah Penghasil Batu Bara Seluruh Indonesia Dr. Ryad Areshman Chairil menyatakan langkah lain yang perlu dilakukan adalah mengubah kebijakan 13,5% royalti batu bara dari bentuk “in cash”, menjadi “in kind”. Selama ini, perusahaan membayarkan royalti batu bara dalam bentuk uang (“in cash”). Dengan terus meroketnya harga komoditas batu bara di pasar internasional, hal ini sudah tidak lagi memadai. Royalti harus diberikan dalam bentuk komoditas produksi (“in kind”) agar dapat memberi manfaat yang sepadan.

Royalti dalam bentuk komoditas juga akan memberi jaminan pada pasokan batu bara yang sangat dibutuhkan industri dalam negeri. Untuk itu diperlukan sebuah kebijakan terobosan untuk mengubah Kepres No. 75 tahun 1996 yang meminta kepada semua perusahaan kontraktor batubara untuk menyisihkan sebagian produksinya untuk kebutuhan dalam negeri.Disamping itu, Pemerintah perlu membuat payung hukumnya di dalam Rancangan Undang-undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang saat ini sedang dibahas oleh DPR. Seperti halnya UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka RUU Minerba harus memuat sebuah pasal yang mewajibkan kepada semua perusahaan kontraktor batubara untuk mengalokasikan sebagian produksinya untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Jika hal ini diberlakukan, setidaknya ”lack of supply” pada pasokan batubara sebagaimana yang di alami oleh PLN pada proyek 10 ribu MW dapat diminimalisasi.

Ryad juga menyayangkan hilangnya moment yang bisa didapatkan Indonesia untuk mendapatkan wind fall profit dari kenaikan harga komoditas termasuk batubara. Harusnya Indonesia membuat pagar-pagar khusus untuk menjamin penerimaan negara yang proporsional sesuai dengan kenaikan harga batubara. Indonesia harus mampu melakukan improvisasi kebijakan melalui ”fiscal tool”  tanpa harus mengurangi hak perusahaan untuk mendapatkan isu komersialnya.

Selain itu, Pemerintah harus lebih serius mengawasi pelaksanaan pengusahaan pertambangan batubara untuk meminimalisasi kegiatan manipulatif yang dilakukan oleh kontraktor batubara.  Akibat adanya segmen-segmen kelemahan pengawasan pemerintah, ada perusahaan yang melakukan kegiatan yang berpotensi untuk merugikan penerimaan negara, diantaranya transfer of pricing dll. Untuk itu, sesuai dengan ketentuan Kontrak Batubara dimana Pemerintah sebetulnya punya hak untuk mengintervensi kedalam setiap transasksi derivatif perusahaan. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari manuver-manuver perusahaan dalam melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan perubahan pada beberapa ketentuan kontrak batubara (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B) yang merugikan negara. Kontrak ini perlu dilakukan perubahan untuk diharmonisasikan sesuai dengan perubahan dinamika masyarakat dan perkembangan hukum di Indonesia. Sehingga tidak mungkin tetap memberlakukan ketentuan kontrak yang berumur 30 tahun tanpa dilakukan adjustment sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Jika itu tidak dilakukan maka bukan tidak mungkin akan selalu terjadi conflik of interest antar pemangku kepentingan dan disharmonis antar institusi Pemerintah.

Ke depannya, Indonesia tidak lagi memerlukan kontrak yang dilakukan antara pemerintah dengan perusahaan. Hal itu hanya akan merendahkan posisi pemerintah sebagai badan publik menjadi sejajar dengan badan usaha privat. Akibatnya soveregnity (asas kedaulatan) dan immunitas pemerintah terganggu karena pemerintah tidak lagi bebas untuk menerbitkan Undang-undang sesuai dengan kepentingan nasional, tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan dari perusahaan sebagai mitra kontraknya. Bahkan pada sebuah tataran yang ekstrem, harusnya Negara dapat menasionalisasi usaha pertambangan demi melindungi kepentingan nasional. Nasionalisasi dimaksud harus dilakukan sesuai peraturan yang berlaku dengan kompensasi yang wajar sesuai dengan harga pasar.

Untuk melakukan itu pemerintah harus mempunyai sebuah proposal perubahan kontrak yang ditawarkan kepada perusahaan dan menjelaskan bahwa perubahan kontrak ini pada hakekatnya untuk melindungi usaha pertambangan dengan menyesuaikan pada perubahan hukum dan perkembangan dinamika masyarakat. Pemerintah harus pasang badan dan menyakinkan bahwa kepentingan komersial perusahaan tetap akan terjaga. 

Terkait kegiatan eksploitasi batu bara yang terus meningkat mengikuti kenaikan harga batu bara dunia, Anggota DPD RI Marwan Batubara mendorong pemerintah untuk memberlakukan ketentuan pajak khusus berupa wind fall profit tax yang mengenakan tarif lebih tinggi. Dengan cara ini, pemerintah dapat mengoptimalkan terjadinya wind fall profit dari kenaikan harga batu bara dunia untuk penerimaan negara.

Marwan juga menyoroti masalah minimnya peran negara dalam pengelolaan batu bara nasional. Sebagian besar industri pengelolaan batu bara dikuasai swasta dan pihak asing. Akibatnya, Negara tidak memperoleh manfaat maksimal dari kekayaan tambang yang melimpah tersebut. Keuntungan lebih besar justru dikeruk oleh perusahaan-perusahaan swasta dan asing yang mendominasi industri pengelolaan batu bara di tanah air.

Misalnya, tercatat, PT Bukit Asam yang merupakan perusahaan pengelola tambang batu bara yang dimiliki negara hanya mencatatkan angka produksi sekitar 9 juta ton pada tahun 2006. Angka ini jauh lebih kecil dibanding angka produksi PT Kaltim Prima Coal yang mencatatkan angka 35 juta ton atau PT Adaro Indonesia yang mencatatkan angka 34 juta ton pada tahun yang sama.

Padahal, jika saja pemerintah memiliki komitmen untuk menguasai sektor pertambangan strategis ini, pemerintah dapat meningkatkan porsi modalnya pada BUMN tersebut sehingga ia dapat meningkatkan kapasitas produksinya atau membeli saham perusahaan-perusahaan tambang batu bara yang tengah didivestasi.

Tidak maksimalnya penerimaan negara dari sektor batu bara ini, ditambah lagi dengan terjadinya praktik kecurangan yang dilakukan sejumlah perusahaan tambang melalui berbagai modusnya. Salah satu bentuk kecurangan yang banyak dilakukan adalah transfer pricing, yaitu tindakan menjual batu bara dengan harga murah kepada perusahaan terafiliasi ke luar negeri. Perusahaan afiliasi tersebut kemudian menjualnya lagi dengan harga pasar. Sehingga, dengan cara ini, perusahaan akan memperoleh keuntungan yang berlipat.

Anggota Komisi VII DPR RI Alvin Lie memberikan salah satu contoh perusahaan yang melakukan transfer of pricing dalam industri batubara. Transfer of pricing itu telah menyebabkan berkurangnya penerimaan negara dari pajak dan royalti, juga merampas hak masyarakat lokasi tambang untuk mendapatkan dana pengembangan. Karena itu, Alvin menegaskan bahwa praktik ini merupakan tindak pidana yang harus memperoleh sanksi tegas. Pemerintah dituntut untuk melakukan pengusutan tuntas terhadap praktik-praktik penggelapan pajak ini dan memberikan sanksi keras kepada para pelakunya.

Berdasarkan hal-hal di atas, untuk memperbaiki dan menyelesaikan masalah-masalah dalam industri batu bara di tanah air, maka pemerintah dituntut melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Membuat perangkat hukum dan kebijakan yang tepat dalam mengoptimalkan pengusahaan batubara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana yang telah diamantkan pada pasal 33 UUD 1945
2. Memberikan peran pengusahaan dan pengelolaan batubara yang lebih profesional dengan memberi keberpihakan kepada BUMN agar pemanfaatan batubara dapat dirasakan secara maksmimal kepada bangsa dan negara;
3. Perlu dilakukan perubahan materi PKP2B yang dianggap merugikan kepentingan Negara. Perubahan PKP2B ini dilakukan dengan tetap menjaga kepentingan komersial Perusahaan dalam mengusahakan pertambangan batubaranya.
4. Memberlakukan ketentuan mengenai DMO (dalam bentuk PP) untuk menjamin ketersediaan pasokan batu bara di tanah air dan menetapkan harga rujukan sebagai referensi dalam melakukan ekspor;  
5. Mengubah kebijakan royalti batu bara dari “in cash” menjadi “in kind” untuk mengkompensasi tingginya volume ekspor batu bara dan mengamankan suplai batubara kedalam industri batubara dalam negeri;
6. Memberlakukan pajak khusus berupa wind fall profit tax bagi industri batu bara untuk memaksimalkan penerimaan negara dari tingginya harga batu bara dunia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 
7. Membuat sebuah payung hukum untuk mengamankan kepentingan penerimaan negara atas manuver manuver korporasi pada transaksi derivatif yang dilakukan diluar negeri, dengan tujuan untuk mengamankan penerimaan negara dari sektor ini.
8. Menegakkan hukum setegas-tegasnya terhadap perusahaan pengelola batu bara yang melakukan tindak penggelapan pajak serta berbagai bentuk kecurangan lainnya sehingga menyebabkan kerugian besar bagi negara.

Jakarta, 1 Mei 2008 – POKJA ENERGI DAN MINERAL, Ryad Chairil [resourceslaw@yahoo.com]